-->

FPI Kota Parepare Kecam Keras Tayangan Trans7 yang Menghina Ponpes Lirboyo

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakutuh. Apa kabar saudaraku semua, semoga selalu berada di bawah lindungan Allah SWT. Berikut kabar update terbaru mengenai FPI Kota Parepare Kecam Keras Tayangan Trans7 yang Menghina Ponpes Lirboyo. Silakan disimak.

 



Rabu, 15 Oktober 2025

Faktakini.info

*“Kasus Trans7 dan Pesantren Lirboyo: Antara Etika Siaran, Kehormatan Ulama, dan Tuntutan Pencabutan Izin”*

DPW Front Persaudaraan Islam (FPI) Kota Parepare menyampaikan kecaman tegas terhadap tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung kehidupan santri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Meskipun Trans7 telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka, FPI Parepare menilai bahwa langkah tersebut belum proporsional dengan akibat sosial dan moral yang ditimbulkan. Mereka menuntut agar izin siar Trans7 dicabut secara hukum sebagai bentuk penegakan tanggung jawab dan efek jera terhadap pelanggaran etika penyiaran publik.

Dalam pernyataannya, FPI Parepare menegaskan bahwa pesantren adalah institusi keagamaan yang memiliki kedudukan hukum dan sosial yang sangat dihormati di Indonesia. Pelecehan terhadap pesantren berarti melukai perasaan umat Islam dan merusak tatanan sosial yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 36 ayat (5) huruf (a) dan (b), setiap program siaran wajib menjaga nilai-nilai agama dan kesusilaan, serta dilarang menampilkan isi yang melecehkan martabat seseorang atau kelompok masyarakat.

Dari sudut pandang hukum administrasi, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan 56 undang-undang yang sama, termasuk pencabutan izin siar oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) setelah melalui mekanisme pemeriksaan dan rekomendasi resmi. Dengan dasar itu, tuntutan FPI Parepare tidak bersifat emosional, melainkan berakar pada norma hukum positif yang berlaku.

Tayangan Xpose Uncensored yang disiarkan pada 13 Oktober 2025 dinilai menampilkan narasi yang provokatif dan tidak berimbang tentang kehidupan santri. Cuplikan kalimat seperti “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” dianggap merendahkan adab serta tradisi pesantren yang selama ini menjadi simbol kesederhanaan dan ketawadhuan. Reaksi keras pun bermunculan, baik dari publik umum, organisasi keagamaan seperti PBNU dan MUI, maupun jaringan alumni pesantren di berbagai daerah.

Gerakan #BoikotTrans7 merebak di media sosial, menandakan kekecewaan luas terhadap stasiun televisi yang selama ini dikenal publik nasional. Gelombang kritik ini juga menjadi momentum untuk menegaskan kembali pentingnya literasi etik di dunia penyiaran—bahwa kebebasan berekspresi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab moral dan hukum.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kemudian memberikan sanksi penghentian sementara terhadap program tersebut setelah menemukan pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) tahun 2012. Regulasi ini secara jelas mengatur bahwa lembaga penyiaran wajib menghormati lembaga pendidikan dan tokoh agama, serta dilarang menyebarkan konten yang mengandung unsur penghinaan atau stereotip terhadap kelompok tertentu.

Beberapa anggota DPR dari Fraksi PKB juga menilai bahwa pelanggaran ini bukan sekadar kesalahan teknis redaksi, melainkan menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan internal di tubuh Trans7. Mereka mendesak agar KPI melakukan audit menyeluruh terhadap kebijakan editorial Trans7 guna memastikan kejadian serupa tidak berulang.

PBNU di sisi lain tengah mempertimbangkan langkah hukum terhadap Trans7 atas dugaan pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kehormatan lembaga pendidikan Islam. Para alumni Lirboyo menyatakan bahwa perjuangan mereka bukanlah untuk menuntut kompensasi materi, tetapi untuk memulihkan kehormatan pesantren yang telah menjadi mercusuar ilmu dan akhlak selama lebih dari satu abad.

Kasus ini menjadi refleksi penting bagi dunia penyiaran nasional: bahwa media bukan sekadar alat informasi dan hiburan, tetapi juga instrumen pembentuk nilai publik. Dalam sistem hukum Indonesia, kebebasan pers dan penyiaran tidak bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh norma agama, kesusilaan, dan kepentingan umum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan demikian, tanggapan keras masyarakat terhadap tayangan ini bukan semata bentuk kemarahan moral, melainkan ekspresi dari kesadaran hukum kolektif. Bahwa di negeri yang menjunjung tinggi nilai agama, kehormatan ulama dan pesantren bukan hanya soal etika, tetapi juga bagian dari sendi-sendi hukum yang harus dijaga bersama.



Sumber: faktakini.info
Bagaimana menurut anda saudaraku, mari tinggalkan jejak di kolom komentar dan jangan lupa untuk share berita ini agar yang lain tahu.