Rumail Abbas: ABNA' AL-IMAM
Rabu, 9 April 2025
Faktakini.info
Rumail Abbas
ABNA' AL-IMAM
Ini dicetak hanya di Damaskus, Suriah. Kedua muhaqqiq, yaitu Arif Abdul Ghani dan Abdullah Husain Al-Sadah mengompilasi empat macam manuskrip (makhthuttat) berbeda namun punya satu tema; sama-sama mencatat keturunan Imam Ali. Kalau hanya melihat cover saja, tanpa daftar isi, mungkin banyak yang terkecoh.
Kenapa?
Karena satu dari empat manuskrip yang dikompilasi ini diberi judul Abna' Al-Imam (keturunan Imam Ali), karya Ibn Thobathoba (nassabah abad ke-5 H), sebuah judul yang dieksploitasi dua tahun terakhir.
Edisi ini dicetak empat tahun sebelum Yusuf Jamalullail menerbitkan ulang Abna' Al-Imam (bukan Abna' Al-Khairat). Dan di dalam mukadimah dijelaskan bahwa 70-an tahun sebelum Arif Abdul Ghani dan Abdullah Husain Al-Sadah mencetak ulang, sudah ada versi lebih tua yang diterbitkan di Palestina (dan waktu itu Yusuf Jamalullail pun belum lahir), yaitu versi Muhammad Ibrahim Nassar.
Karena ketidaksengajaan Hasyim Al Hasyim yang mendapati salah satu terbitan Muhammad Ibrahim Nassar yang dicetak di Palestina ini di Perpustakaan Yasu'iah di Beirut, akhirnya membuat Arif Abdul Ghani dan Abdullah Husain Al-Sadah mencari manuskrip aslinya di Damaskus, dan ternyata disimpan oleh keluarga Al Warraq, dari salah satu penyalin kondang bernama Ibn Shadaqah (w. abad ke-12 H).
Ketika saya bandingkan versi Dar Kinan (yang sedang Anda lihat sekarang) dengan versi Yusuf Jamalullail, tidak ada yang berbeda dalam isi, 100% mirip, kecuali Yusuf dan Sahal bin Yusuf memberikan bagan saja.
"Lantas, orang-orang seperti Haji Imad dan KRT Nur Ihya yang menuduh bahwa kitab ini dibuat-buat oleh Yusuf Jamalullail itu punya argumen apa, selain cocoklogi?" batin saya bergumam.
Saya sengaja mengunggah ini karena ada yang memfitnah Yusuf Jamalullail memalsukan manuskrip Abna' Al-Imam, bahkan fitnah itu dilontarkan pada bulan Ramadan, tapi belum ada rasa penyesalan sama sekali.
Sama seperti Gus Fuad Plered yang tidak menyesal telah menghina Guru Tua, lah. Alih-alih menyesal, malah rutin mengunggah dan repost perkara lain (tentu saja soal HRS, Bah*ar, dan lainnya). Supaya publik teralihkan dari kasus penghinaannya? Atau panik?
Kubu yang sama juga punya 'saintis' yang tak kalah aneh. Saking anehnya, telaah historis ia wajibkan pakai h-null, dan penelitian kuantitatif itu lebih tepat dalam mencari eksistensi tokoh di masa lalu. Saya pakai tanda petik pada 'saintis' karena orangnya aneh. Masak telaah historis pakai h-null? Pithik saja tertawa~
Mari kita tunggu akan membawa ke mana cekcok tak berkesudahan ini, ya. Dan lagi, ini bukan tentang nasab. Hanya bahas satu tradisi penting dalam Islam: manuskrip > tahqiq > cetak modern > peredaran.
Masih ingat dengan El Shamsy yang dulu saya singgung? Ada uraian menarik dari penjelajahan manuskrip yang ia tempuh.
Kitab Al-Umm merupakan salah satu mahakarya monumental dalam tradisi hukum Islam mazhab Syafi’i yang diproduksi oleh Sang Pendiri Mazhab, yaitu Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i Al-Muthallibi (w. 204 H/820 M). Pernyataan ini banyak diulang oleh para pengikut mazhab Syafi’i dan dianggap sebagai jaminan keautentikan hukum yang terkandung di dalamnya.
Karya fenomenal yang ditulis oleh Imam Syafi’i ini tidak hanya menjadi pedoman bagi generasi awal intelektual muslim, tetapi juga dianggap sebagai landasan epistemologis bagi perkembangan hukum Islam selama berabad-abad. Singkatnya, Kitab Al-Umm mencerminkan seluruh pemikiran asli Imam Syafi’i karena ditulis langsung oleh dirinya, tanpa perantara.
Namun, siapa yang menduga bahwa karya besar yang dianggap sebagai “kitab induk” mazhab Syafi’i ini ternyata sempat lenyap dari peredaran intelektual dunia Islam hampir satu milenium? Bagaimana bisa kitab pendiri mazhab bisa mafqud?
Akhirnya, ada sisi menariknya, bukan?
Salam,
Rumail Abbas
Sumber: faktakini.info
Bagaimana menurut anda saudaraku, mari tinggalkan jejak di kolom komentar dan jangan lupa untuk share berita ini agar yang lain tahu.
Posting Komentar