-->

Sejarah yang Dipelintir soal VOC: Dari Kolonialisme ke Pemutihan Sejarah

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakutuh. Apa kabar saudaraku semua, semoga selalu berada di bawah lindungan Allah SWT. Berikut kabar update terbaru mengenai Sejarah yang Dipelintir soal VOC: Dari Kolonialisme ke Pemutihan Sejarah. Silakan disimak.

 


Jum'at, 31 Januari 2025

Faktakini.info

‎🚨🇮🇩 ‎Sejarah yang Dipelintir: 𝑫𝒂𝒓𝒊 𝑲𝒐𝒍𝒐𝒏𝒊𝒂𝒍𝒊𝒔𝒎𝒆 𝒌𝒆 𝑷𝒆𝒎𝒖𝒕𝒊𝒉𝒂𝒏 𝑺𝒆𝒋𝒂𝒓𝒂𝒉.

‎"Sejarah menjerit, tapi suaranya dibungkam oleh mereka yang takut pada bayang-bayang sendiri. Jeritannya? Puluhan ribu may-at di Jalan Raya Pos, ribuan kepala terpisah di Rawagede, dan pulau Banda yang dikosongkan demi monopoli pala. Hari ini, jeritan itu dipelintir menjadi bisikan: '𝐕𝐎𝐂 𝐜𝐮𝐦𝐚 𝐩𝐞𝐝𝐚𝐠𝐚𝐧𝐠’, ‘𝐁𝐞𝐥𝐚𝐧𝐝𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐮𝐧 𝐢𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫’, atau 𝐤𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐫𝐨𝐝𝐢 𝐢𝐭𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐲𝐚𝐫 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐝𝐢𝐤𝐨𝐫𝐮𝐩𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐣𝐚𝐛𝐚𝐭 𝐥𝐨𝐤𝐚𝐥’. Ini bukan kesalahan, tapi kejahatan

‎" bahwa VOC "sekadar perusahaan dagang," dan bahwa kekejaman kolonial hanyalah "kesalahan oknum" atau akibat pejabat pribumi yang korup.  

‎Narasi ini bukan ketidaktahuan biasa. Ini adalah bentuk pemutihan sejarah yang terencana, yang bertujuan mengaburkan fakta bahwa kolonialisme adalah sistem eksploitasi brutal, yang berjalan dengan kekerasan, pemaksaan, dan pertumpahan darah.  

‎Sejarah tidak bisa dikemas ulang agar terasa lebih nyaman. Fakta tetaplah fakta.  

‎𝐕𝐎𝐂: 𝐏𝐞𝐫𝐮𝐬𝐚𝐡𝐚𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐠𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐌𝐞𝐬𝐢𝐧 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐮-𝐧*𝐡?

‎VOC datang dengan kapal-kapal bersen-jata,lengkap dengan serdadu,mendirikan benteng, dan menanamkan kekuasaan dengan darah. 

Di Banda, Jan Pieterszoon Coen membantai hampir seluruh penduduk asli pada 1621 hanya karena mereka menolak monopoli perdagangan pala. Sejarawan G. J. Knaap dalam Shallow Waters, Rising Tide (1999) menegaskan bahwa  VOC menggunakan kekerasan ekstrem untuk menghancurkan perlawanan lokal. Mereka yang selamat dijadikan budak dan dikirim ke Batavia.  

‎VOC juga terlibat aktif dalam perdagangan manusia. Penelitian Matthias van Rossum dari Institut Internasional Sejarah Sosial Belanda (Workers of the Colonial State, 2015) menunjukkan bahwa lebih dari 600.000 orang dari Nusantara diperjualbelikan sebagai budak ke Afrika Selatan, Sri Lanka, dan Suriname.  

‎𝐊𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐏𝐚𝐤𝐬𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐟𝐫𝐚𝐬𝐭𝐫𝐮𝐤𝐭𝐮𝐫 𝐁𝐞𝐫𝐝𝐚𝐫𝐚𝐡

‎Jalan Raya Pos, yang sering diklaim sebagai bukti "pembangunan Belanda," dibangun dengan kerja rodi. Narasi yang mengatakan bahwa pekerja "dibayar" tetapi uangnya dikorup oleh bupati lokal adalah ilusi.  

‎Onghokham dalam Rakyat dan Negara (2002) menjelaskan bahwa dalam sistem kolonial, "pembayaran administratif" hanyalah formalitas. Uang dicatat dalam pembukuan, tetapi tidak sampai ke tangan pekerja. Jean Gelman Taylor dalam Indonesia: Peoples and Histories (2003) menegaskan bahwa buruh tidak diberi pilihan untuk menolak bekerja. Mereka dipaksa meninggalkan rumah, bekerja di medan berat, dan banyak yang tewas karena kelelahan atau penyakit.  

‎Bernard HM Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia (1960) menyatakan:  

‎"Kerja rodi adalah sistem pemaksaan langsung oleh pemerintah kolonial. Buruh tidak punya hak menegosiasikan upah atau keselamatan mereka."

‎Jurnal akademik Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (Vol. 170, 2014) menambahkan:  

‎"Buruh rodi dihindari dari status 'budak' hanya karena tidak dijual secara langsung, tetapi kondisinya lebih buruk daripada budak di perkebunan." 

‎Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels secara langsung memerintahkan kerja rodi tanpa opsi bagi rakyat untuk menolak. Jean Gelman Taylor mencatat bahwa puluhan ribu orang tewas dalam proyek ini, dan mayat-mayat mereka dibiarkan membusuk di pinggir jalan.  

𝐏𝐞𝐫-𝐚𝐧𝐠, 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧-𝐭𝐚𝐢𝐚𝐧, 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐨𝐧𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐃𝐢𝐩𝐚𝐝𝐚𝐦𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐃𝐚𝐫-𝐚𝐡

‎Saat rakyat melawan, Belanda merespons dengan keker-asan brutal.  

‎Perang Aceh (1873–1904) menjadi bukti teror kolonial. Anthony Reid dalam The Blood of the People(2005) menjelaskan strategi "bumi hangus"Belanda: membakar desa, memba-ntai warga sipil, dan mengeksekusi tokoh Aceh. Korban tew-as mencapai 70.000 jiwa, berdasarkan catatan militer Belanda dan penelitian sejarawan Indonesia.  

‎Di Sulawesi Selatan, Raymond Westerling memimpin operasi pembersihan berda-rah (1946–1947). Robert Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries* (1991) memperkirakan 3.000–40.000 orang tew-as, tergantung sumber arsip.  

‎Di Rawagede, Karawang, pada 9 Desember 1947, tentara Belanda mengeksekusi 431 laki-laki dalam satu hari. Laporan PBB tahun 1948 (S/AC.10/82) menyebutnya sebagai "pelanggaran berat hukum per-ang." 

Pada 2011, pengadilan Den Haag (ECLI:NL:RBSGR:2011:BS8793) secara resmi mengakui pemban-taian ini sebagai kejahatan perang sistematis.  

‎𝐀𝐤𝐡𝐢𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐦𝐚𝐥𝐮𝐤𝐚𝐧: 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐭𝐞𝐧𝐠𝐚𝐡 𝐇𝐚𝐭𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐦𝐩𝐞𝐧𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐌𝐮𝐫𝐚𝐡𝐚𝐧 

‎Pada 2011, pemerintah Belanda dipaksa membayar kompensasi €20.000 per janda korban Rawagede. Namun, investigasi De Volkskrant (2013) menyebut jumlah ini "hanya simbolis" dan tidak sebanding dengan penderitaan puluhan tahun. Sebagai perbandingan, harga rumah rata-rata di Amsterdam saat itu mencapai €300.000.  

‎-

‎𝐁𝐚𝐧𝐠𝐬𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐋𝐮𝐩𝐚 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡, 𝐏𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐣𝐚𝐣𝐚𝐡

‎Belanda memang pergi, tetapi upaya pemutihan sejarah terus berlangsung. Bukan Belanda yang melakukannya, melainkan sebagian dari kita sendiri—𝐠𝐞𝐧𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫 𝐦𝐞𝐫𝐝𝐞𝐤𝐚, 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐩𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐣𝐚𝐡.  

‎ketika kita Melupakan sejarah kita bukan  hanya kehilangan ingatan, tetapi juga kehilangan identitas kita sebagai bangsa .

📌 ‎𝐂𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧

‎Tulisan ini berfokus pada kritik terhadap pemutihan sejarah yang semakin marak, terutama di media sosial. Namun, saya tidak menutup mata terhadap fakta bahwa ada beberapa oknum pejabat lokal yang bekerja sama dengan kolonial demi kepentingan mereka sendiri. Hal ini memang terjadi dan merupakan bagian dari kompleksitas sejarah kita.  

‎Meski demikian, keterlibatan segelintir individu tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa

𝐤𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐞𝐤𝐬𝐩𝐥𝐨𝐢𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐛𝐫𝐮𝐭𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐧𝐝𝐚𝐬 𝐫𝐚𝐤𝐲𝐚𝐭 𝐬𝐞𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐥𝐮𝐚𝐬.

 Pembahasan mengenai peran oknum pribumi dalam kolonialisme tentu penting, tetapi itu adalah diskusi lain yang bisa kita bahas di lain kesempatan

‎Daftar Sumber rujukan  

‎1. Knaap, G. J. (1999). Shallow Waters, Rising Tide. KITLV Press.  

‎2. Van Rossum, M. (2015). Workers of the Colonial State. Amsterdam University Press.  

‎3. Onghokham (2002). Rakyat dan Negara. Komunitas Bambu.  

‎4. Taylor, J. G. (2003). Indonesia: Peoples and Histories. Yale University Press.  

‎5. Vlekke, B. H. M. (1960). Nusantara: A History of Indonesia. Harvard University Press.  

‎6. Reid, A. (2005). The Blood of the People. NUS Press.  

‎7. Cribb, R. (1991). Gangsters and Revolutionaries. University of Hawaii Press.  

‎8. Laporan PBB S/AC.10/82 (1948).  

‎9. Putusan Pengadilan Den Haag ECLI:NL:RBSGR:2011:BS8793 (2011).  

‎10. De Volkskrant (2013). "Rawagede-uitkering is een schijntje"


Sumber: faktakini.info
Bagaimana menurut anda saudaraku, mari tinggalkan jejak di kolom komentar dan jangan lupa untuk share berita ini agar yang lain tahu.